Coretan Ahmad Khobidu

Mendengarkan dengan baik dan mencoba untuk memahami

NeoEarth

Allah SWT telah memerintahkan seorang Malaikat menemui Iblis supaya dia menghadap Rasulullah saw untuk memberitahu segala rahasianya, baik yang disukai maupun yang dibencinya. Hikmatnya ialah untuk meninggikan derajat Nabi Muhammad SAW dan juga sebagai peringatan dan perisai kepada umat manusia.

Maka Malaikat itu pun berjumpa Iblis dan berkata, “Hai Iblis! Bahwa Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar memberi perintah untuk menghadap Rasullullah saw. Hendaklah engkau buka segala rahasiamu dan apapun yang ditanya Rasulullah hendaklah engkau jawab dengan sebenar-benarnya. Jikalau engkau berdusta walau satu perkataan pun, niscaya akan terputus semua anggota badanmu, uratmu, serta disiksa dengan azab yang amat keras.”

Mendengar ucapan Malaikat yang dahsyat itu, Iblis sangat ketakutan. Maka segeralah dia menghadap Rasulullah SAW dengan menyamar sebagai seorang tua yang buta sebelah matanya dan berjanggut putih 10 helai, panjangnya seperti ekor lembu.

Iblis pun memberi salam, sehingga 3 kali tidak juga dijawab oleh Rasulullah saw. Maka sambut Iblis (alaihi laknat),

“Ya Rasulullah! Mengapa engkau tidak mejawab salamku? Bukankah salam itu sangat mulia di sisi Allah?” Maka jawab Nabi dengan marah, “Hai Aduwullah seteru Allah! Kepadaku engkau menunjukkan kebaikanmu? Janganlah mencoba menipuku sebagaimana kau tipu Nabi Adam a.s sehingga keluar dari syurga, Habil mati teraniaya dibunuh Qabil dengan sebab hasutanmu, Nabi Ayub engkau tiup dengan asap beracun ketika dia sedang sujud sembahyang hingga dia sengsara beberapa lama, kisah Nabi Daud dengan perempuan Urya, Nabi Sulaiman meninggalkan kerajaannya karena engkau menyamar sebagai isterinya dan begitu juga beberapa Anbiya dan pendeta yang telah menanggung sengsara akibat hasutanmu.

Hai Iblis! Sebenarnya salam itu sangat mulia di sisi Allah azza wajalla, cuma salammu saja aku tidak hendak menjawabnya karena diharamkan Allah. Maka aku kenal baik-baik engkaulah Iblis, raja segala iblis, syaitan dan jin yang menyamar diri. Apa kehendakmu datang menemuiku?”

Taklimat Iblis, “Ya Nabi Allah! Janganlah engkau marah. Karena engkau adalah Khatamul Anbiya maka dapat mengenaliku. Kedatanganku adalah diperintah Allah untuk memberitahu segala tipu dayaku terhadap umatmu dari zaman Nabi Adam hingga akhir zaman. Ya Nabi Allah! Setiap apa yang engkau tanya, aku bersedia menerangkan satu persatu dengan sebenarnya, tiadalah aku berani menyembunyikannya. “

Maka Iblis pun bersumpah menyebut nama Allah dan berkata, “Ya Rasulullah! Sekiranya aku berdusta barang sepatah pun niscaya hancur leburlah badanku menjadi abu.”

Apabila mendengar sumpah Iblis itu, Nabi pun tersenyum dan berkata dalam hatinya, inilah satu peluangku untuk menyiasati segala perbuatannya agar didengar oleh sekalian sahabat yang ada di majlis ini dan menjadi perisai kepada seluruh umatku.

Pertanyaan Nabi (1): “Hai Iblis! Siapakah sebesar-besar musuhmu dan bagaimana aku terhadapmu?” Jawab Iblis: “Ya Nabi Allah! Engkaulah musuhku yang paling besar di antara segala musuhku di muka bumi ini.” Maka Nabi pun memandang muka Iblis, dan Iblis pun menggeletar karena ketakutan. Sambung Iblis, “Ya Khatamul Anbiya! Ada pun aku dapat merubah diriku seperti sekalian manusia, binatang dan lain-lain hingga rupa dan suara pun tidak berbeda, kecuali dirimu saja yang tidak dapat aku tiru karena dicegah oleh Allah. Kiranya aku menyerupai dirimu, maka terbakarlah diriku menjadi abu. Aku cabut iktikad / niat anak Adam supaya menjadi kafir karena engkau berusaha memberi nasihat dan pengajaran supaya mereka kuat untuk memeluk agama Islam, begitu jugalah aku berusaha menarik mereka kepada kafir, murtad atau munafik. Aku akan menarik seluruh umat Islam dari jalan benar menuju jalan yang sesat supaya masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya bersamaku.”

Pertanyaan Nabi (2): “Hai Iblis! Bagaimana perbuatanmu kepada makhluk Allah?” Jawab Iblis: “Adalah satu kemajuan bagi perempuan yang merenggangkan kedua pahanya kepada lelaki yang bukan suaminya, setengahnya hingga mengeluarkan benih yang salah sifatnya. Aku goda semua manusia supaya meninggalkan sholat, terbuai dengan makan minum, berbuat durhaka, aku lalaikan dengan harta benda daripada emas, perak dan permata, rumahnya, tanahnya, ladangnya supaya hasilnya dibelanjakan ke jalan haram.

Demikian juga ketika pesta yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Disana aku lepaskan sebesar-besar godaan supaya hilang peraturan dan minum arak. Apabila terminum arak itu maka hilanglah akal, fikiran dan malunya. Lalu aku ulurkan tali cinta dan terbukalah beberapa pintu maksiat yang besar, datang perasaan hasad dengki hingga kepada pekerjaan zina. Apabila terjadi kasih antara mereka, terpaksalah mereka mencari uang hingga menjadi penipu, peminjam dan pencuri.

Apabila mereka teringat akan salah mereka lalu hendak bertaubat atau berbuat amal ibadat, aku akan rayu mereka supaya mereka menangguhkannya. Bertambah keras aku goda supaya menambahkan maksiat dan mengambil isteri orang. Bila kena goda hatinya, datanglah rasa ria, takabur, megah, sombong dan melengahkan amalnya. Bila pada lidahnya, mereka akan gemar berdusta, mencela dan mengumpat. Demikianlah aku goda mereka setiap saat.”

Pertanyaan Nabi (3): “Hai Iblis! Mengapa engkau bersusah payah melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan faedah bahkan menambahkan laknat yang besar serta siksa yang besar di neraka yang paling bawah? Hai yang dikutuk Allah! Siapa yang menjadikanmu? Siapa yang melanjutkan usiamu? Siapa yang menerangkan matamu? Siapa yang memberi pendengaranmu? Siapa yang memberi kekuatan anggota badanmu?”

Jawab Iblis: “Semuanya itu adalah anugerah daripada Allah Yang Maha Besar juga. Tetapi hawa nafsu dan takabur membuatku menjadi jahat sebesar-besarnya. Engkau lebih tahu bahwa Diriku telah beribu-ribu tahun menjadi ketua seluruh Malaikat dan pangkatku telah dinaikkan dari satu langit ke satu langit yang tinggi. Kemudian Aku tinggal di dunia ini beribadat bersama sekalian Malaikat beberapa waktu lamanya.

Tiba-tiba datang firman Allah SWT hendak menjadikan seorang Khalifah di dunia ini, maka akupun membantah. Lalu Allah menciptakan lelaki (Nabi Adam) lalu dititahkan seluruh Malaikat memberi hormat kepada lelaki itu, kecuali aku yang ingkar. Oleh karena itu Allah murka kepadaku dan wajahku yang tampan rupawan dan bercahaya itu bertukar menjadi keji dan kelam. Aku merasa sakit hati. Kemudian Allah menjadikan Adam raja di syurga dan dikurniakan seorang permaisuri (Siti Hawa) yang memerintah seluruh bidadari. Aku bertambah dengki dan dendam kepada mereka.

Akhirnya aku berhasil menipu mereka melalui Siti Hawa yang menyuruh Adam memakan buah Khuldi, lalu keduanya diusir dari syurga ke dunia. Keduanya berpisah beberapa tahun dan kemudian dipertemukan Allah (di Padang Arafah), hingga mereka mendapat beberapa orang anak. Kemudian kami hasut anak lelakinya Qabil supaya membunuh saudaranya Habil. Itu pun aku masih tidak puas hati dan berbagai tipu daya aku lakukan hingga Hari Kiamat.

Sebelum Engkau lahir ke dunia, aku beserta bala tentaraku dengan mudah dapat naik ke langit untuk mencuri segala rahasia serta tulisan yang menyuruh manusia berbuat ibadat serta balasan pahala dan syurga mereka. Kemudian aku turun ke dunia, dan memberitahu manusia yang lain aripada apa yang sebenarnya aku dapatkan, dengan berbagai tipu daya hingga tersesat dengan berbagai kitab bid’ah dan carut-marut.

Tetapi ketika engkau lahir ke dunia ini, maka aku tidak dibenarkan oleh Allah untuk naik ke langit serta mencuri rahasia, kerana banyak Malaikat yang menjaga di setiap lapisan pintu langit. Jika aku berkeras juga hendak naik, maka Malaikat akan melontarkan anak panah dari api yang menyala. Sudah banyak bala tenteraku yang terkena lontaran Malaikat itu dan semuanya terbakar menjadi abu. Maka besarlah kesusahanku dan bala tentaraku untuk menjalankan tugas menghasut.”

Pertanyaan Nabi (4): “Hai Iblis! Apakah yang pertama engkau tipu dari manusia?” Jawab Iblis: “Pertama sekali aku palingkan iktikad / niatnya, imannya kepada kafir juga ada dari segi perbuatan, perkataan, kelakuan atau hatinya. Jika tidak berhasil juga, aku akan tarik dengan cara mengurangi pahala. Lama-kelamaan mereka akan terjerumus mengikut kemauan jalanku”

Pertanyaan Nabi (5): “Hai Iblis! Jika umatku sholat karena Allah, bagaimana keadaanmu?” Jawab Iblis: “Sebesar-besarnya kesusahanku. Gementarlah badanku dan lemah tulang sendiku. Maka aku kerahkan berpuluh-puluh iblis datang menggoda seorang manusia, pada setiap anggota badannya.

Setengah-setengahny a datang pada setiap anggota badannya supaya malas sholat, was-was, terlupa bilangan rakaatnya, bimbang pada pekerjaan dunia yang ditinggalkannya, sentiasa hendak cepat habis sholatnya, hilang khusyuknya – matanya sentiasa menjeling ke kiri kanan, telinganya senantiasa mendengar orang bercakap serta bunyi-bunyi yang lain. Setengah Iblis duduk di belakang badan orang yang sembahyang itu supaya dia tidak kuasa sujud berlama-lama, penat atau duduk tahiyat dan dalam hatinya senantiasa hendak cepat habis sholatnya, itu semua membawa kepada kurangnya pahala. Jika para Iblis itu tidak dapat menggoda manusia itu, maka aku sendiri akan menghukum mereka dengan seberat-berat hukuman.”

Pertanyaan Nabi (6): “Jika umatku membaca Al-Quran karena Allah, bagaimana perasaanmu?” Jawab Iblis: “Jika mereka membaca Al-Quran karena Allah, maka rasa terbakarlah tubuhku, putus-putus segala uratku lalu aku lari daripadanya. “

Pertanyaan Nabi (7): “Jika umatku mengerjakan haji karena Allah, bagaimana perasaanmu?” Jawab Iblis: “Binasalah diriku, gugurlah daging dan tulangku karena mereka telah mencukupkan rukun Islamnya.”

Pertanyaan Nabi (8): “Jika umatku berpuasa karena Allah, bagaimana keadaanmu?” Jawab Iblis: “Ya Rasulullah! Inilah bencana yang paling besar bahayanya kepadaku. Apabila masuk awal bulan Ramadhan, maka memancarlah cahaya Arasy dan Kursi, bahkan seluruh Malaikat menyambut dengan suka cita. Bagi orang yang berpuasa, Allah akan mengampunkan segala dosa yang lalu dan digantikan dengan pahala yang amat besar serta tidak dicatatkan dosanya selama dia berpuasa. Yang menghancurkan hatiku ialah segala isi langit dan bumi, yakni Malaikat, bulan, bintang, burung dan ikan-ikan semuanya siang malam mendoakan ampunan bagi orang yang berpuasa. Satu lagi kemuliaan orang berpuasa ialah dimerdekakan pada setiap masa dari azab neraka. Bahkan semua pintu neraka ditutup manakala semua pintu syurga dibuka seluas-luasnya, serta dihembuskan angin dari bawah Arasy yang bernama Angin Syirah yang amat lembut ke dalam syurga. Pada hari umatmu mulai berpuasa, dengan perintah Allah datanglah sekalian Malaikat dengan garangnya menangkapku dan tentaraku, jin, syaitan dan ifrit lalu dipasung kaki dan tangan dengan besi panas dan dirantai serta dimasukkan ke bawah bumi yang amat dalam. Di sana pula beberapa azab yang lain telah menunggu kami. Setelah habis umatmu berpuasa barulah aku dilepaskan dengan perintah agar tidak mengganggu umatmu. Umatmu sendiri telah merasa ketenangan berpuasa sebagaimana mereka bekerja dan bersahur seorang diri di tengah malam tanpa rasa takut dibandingkan bulan biasa.”

Pertanyaan Nabi (9): “Hai Iblis! Bagaimana seluruh sahabatku menurutmu?” Jawab Iblis: “Seluruh sahabatmu juga adalah sebesar – besar seteruku. Tiada upayaku melawannya dan tiada satu tipu daya yang dapat masuk kepada mereka. Karena engkau sendiri telah berkata: “Seluruh sahabatku adalah seperti bintang di langit, jika kamu mengikuti mereka, maka kamu akan mendapat petunjuk.”

Saidina Abu Bakar al-Siddiq sebelum bersamamu, aku tidak dapat mendekatinya, apalagi setelah berdampingan denganmu. Dia begitu percaya atas kebenaranmu hingga dia menjadi wazirul a’zam. Bahkan engkau sendiri telah mengatakan jika ditimbang seluruh isi dunia ini dengan amal kebajikan Abu Bakar, maka akan lebih berat amal kebajikan Abu Bakar. Tambahan pula dia telah menjadi mertuamu karena engkau menikah dengan anaknya, Saiyidatina Aisyah yang juga banyak menghafadz Hadits-haditsmu.

Saidina Umar Al-Khattab pula tidaklah berani aku pandang wajahnya karena dia sangat keras menjalankan hukum syariat Islam dengan seksama. Jika aku pandang wajahnya, maka gemetarlah segala tulang sendiku karena sangat takut. Hal ini karena imannya sangat kuat apalagi engkau telah mengatakan, “Jikalau adanya Nabi sesudah aku maka Umar boleh menggantikan aku”, karena dia adalah orang harapanmu serta pandai membedakan antara kafir dan Islam hingga digelar ‘Al-Faruq’.

Saidina Usman Al-Affan lagi, aku tidak bisa bertemu, karena lidahnya senantiasa bergerak membaca Al-Quran. Dia penghulu orang sabar, penghulu orang mati syahid dan menjadi menantumu sebanyak dua kali. Karena taatnya, banyak Malaikat datang melawat dan memberi hormat kepadanya karena Malaikat itu sangat malu kepadanya hingga engkau mengatakan, “Barang siapa menulis Bismillahir rahmanir rahim pada kitab atau kertas-kertas dengan dakwat merah, nescaya mendapat pahala seperti pahala Usman mati syahid.”

Saidina Ali Abi Talib pun itu aku sangat takut karena hebatnya dan gagahnya dia di medan perang, tetapi sangat sopan santun, alim orangnya. Jika iblis, syaitan dan jin memandang beliau, maka terbakarlah kedua mata mereka karena dia sangat kuat beribadat serta beliau adalah golongan orang pertama memeluk agama Islam dan tidak pernah menundukkan kepalanya kepada sebarang berhala. Bergelar ‘Ali Karamullahu Wajhahu’ – dimuliakan Allah akan wajahnya dan juga ‘Harimau Allah’ dan engkau sendiri berkata, “Akulah negeri segala ilmu dan Ali itu pintunya.” Tambahan pula dia menjadi menantumu, semakin aku ngeri kepadanya.”

Pertanyaan Nabi (10): “Bagaimana tipu daya engkau kepada umatku?” Jawab Iblis: “Umatmu itu ada tiga macam. Yang pertama seperti hujan dari langit yang menghidupkan segala tumbuhan yaitu ulama yang memberi nasihat kepada manusia supaya mengerjakan perintah Allah serta meninggalkan laranganNya seperti kata Jibril a.s, “Ulama itu adalah pelita dunia dan pelita akhirat.” Yang kedua umat tuan seperti tanah yaitu orang yang sabar, syukur dan ridha dengan karunia Allah. Berbuat amal soleh, tawakal dan kebajikan. Yang ketiga umatmu seperti Firaun; terlampau tamak dengan harta dunia serta dihilangkan amal akhirat. Maka akupun bersukacita lalu masuk ke dalam badannya, aku putarkan hatinya ke lautan durhaka dan aku hela ke mana saja mengikuti kehendakku. Jadi dia senantiasa bimbang kepada dunia dan tidak hendak menuntut ilmu, tiada masa beramal ibadat, tidak hendak mengeluarkan zakat, miskin hendak beribadat.

Lalu aku goda agar minta kaya dulu, dan apabila diizinkan Allah dia menjadi kaya, maka dilupakan beramal, tidak berzakat seperti Qarun yang tenggelam dengan istana mahligainya. Bila umatmu terkena penyakit tidak sabar dan tamak, dia senantiasa bimbang akan hartanya dan setengahnya asyik hendak merebut dunia harta, bercakap besar sesama Islam, benci dan menghina kepada yang miskin, membelanjakan hartanya untuk jalan maksiat, tempat judi dan perempuan lacur.”

Pertanyaan Nabi (11): “Siapa yang serupa dengan engkau?” Jawab Iblis: “Orang yang meringankan syariatmu dan membenci orang belajar agama Islam.”

Pertanyaan Nabi (12): “Siapa yang mencahayakan muka engkau?” Jawab Iblis: “Orang yang berdosa, bersumpah bohong, saksi palsu, pemungkir janji.”

Pertanyaan Nabi (13): “Apakah rahasia engkau kepada umatku?” Jawab Iblis: “Jika seorang Islam pergi buang air besar serta tidak membaca doa pelindung syaitan, maka aku gosok-gosokkan najisnya sendiri ke badannya tanpa dia sadari.”

Pertanyaan Nabi (14): “Jika umatku bersatu dengan isterinya, bagaimana hal engkau?” Jawab Iblis: “Jika umatmu hendak bersetubuh dengan isterinya serta membaca doa pelindung syaitan, maka larilah aku dari mereka. Jika tidak, aku akan bersetubuh dahulu dengan isterinya, dan bercampurlah benihku dengan benih isterinya. Jika menjadi anak maka anak itu akan gemar kepada pekerjaan maksiat, malas pada kebaikan, durhaka. Ini semua karena kealpaan ibu bapaknya sendiri. Begitu juga jika mereka makan tanpa membaca Bismillah, aku yang dahulu makan daripadanya. Walaupun mereka makan, tiadalah merasa kenyang.”

Pertanyaan Nabi (15): “Dengan jalan apa dapat menolak tipu daya engkau?” Jawab Iblis: “Jika dia berbuat dosa, maka dia kembali bertaubat kepada Allah, menangis menyesal akan perbuatannya. Apabila marah segeralah mengambil air wudhu’, maka padamlah marahnya.”

Pertanyaan Nabi (16): “Siapakah orang yang paling engkau lebih sukai?” Jawab Iblis: Lelaki dan perempuan yang tidak mencukur atau mencabut bulu ketiak atau bulu ari-ari (bulu kemaluan) selama 40 hari. Di situlah aku mengecilkan diri, bersarang, bergantung, berbuai seperti pijat pada bulu itu.”

Pertanyaan Nabi (17): “Hai Iblis! Siapakah saudara engkau?” Jawab Iblis: “Orang yang tidur meniarap / telungkup, orang yang matanya terbuka (mendusin) di waktu subuh tetapi menyambung tidur lagi. Lalu aku lenakan dia hingga terbit fajar. Demikian jua pada waktu zuhur, asar, maghrib dan isya’, aku beratkan hatinya untuk sholat.”

Pertanyaan Nabi (18): “Apakah jalan yang membinasakan diri engkau?” Jawab Iblis: “Orang yang banyak menyebut nama Allah, bersedekah dengan tidak diketahui orang, banyak bertaubat, banyak tadarus Al-Quran dan sholat tengah malam.”

Pertanyaan Nabi (19): “Hai Iblis! Apakah yang memecahkan mata engkau?” Jawab Iblis: “Orang yang duduk di dalam masjid serta beriktikaf di dalamnya”

Pertanyaan Nabi (20): “Apa lagi yang memecahkan mata engkau?” Jawab Iblis: “Orang yang taat kepada kedua ibu bapanya, mendengar kata mereka, membantu makan pakaian mereka selama mereka hidup, karena engkau telah bersabda, Syurga itu di bawah tapak kaki ibu’”

== Selesai ==


Gerakan kaum neo-revivalis dianggap lebih banyak mempengaruhi perkembangan teori perbankan Islam. Teori ini dikembangkan secara luas guna mempraktikkan interpretasi tradisional riba (yang dianut oleh kaum neo-revivalis) di bidang perbankan dan pembiayaan. Neo-Revivalisme memfokuskan antara lain pada isu-isu penting berikut: melawan westernenisasi umat islam, membela keserbacukupan islam dan Islam sebagai pandangan hidup serta menolak segala bentuk reinterpretasi al-Quran dan Sunnah. Gerakan neo-revivalis yang paling berpengaruh muncul di Mesir dan anak benua India: al-Ikhwanul al-Muslimun yang didirikan oleh aktivis dan reformis Mesir Hasan al-Banna (w.1949) dan Jama’at Islami yang didirikan oleh ulama Pakistan Abu al-A’la al-Maududi (w.1979).

Faktor-faktor yang mendukung munculnya bank-bank Islam

1. Kecaman kaum neo-revivalis terhadap bunga sebagai riba.
Menurut al-Ikhwan al-Muslimun, karena al-Quran telah melarang riba (menurut mereka riba juga mencakup bunga), maka seluruh aktifitas berbasis bunga baik di sektor publik maupun swasta harus segera dihentikan. Kecaman terhadap institusi bunga dan usaha-usaha untuk membangun suatu sistem bank Islam yang bebas bunga terus berlanjut secara simultan pada 1950-an dan 1960-an.

2. Kekayaan minyak negara-negara teluk konservatif.
Peningkatan pendapatan minyak ini membuat banyak sekali cadangan devisa yang kemudian disebut sebagai problem mendaur-ulang petro dollar. Proses daur-ulang dilakukan dengan tiga cara yaitu: (i) dengan membeli barang-barang konsumen dari barat, perangkat keras militer, alat-alat industri dan barang-barang yang lain; (ii) dengan menginvestasikan dana mereka pada proyek-proyek pembangunan didalam dan diluar negeri; (iii) dengan meminjamkan/memanfaatkan uang lewat saluran-saluran resmi dan swasta kepada negara-negara berkembang. Tampaknya melalui saluran-saluran kedua dan ketiga-lah kekayaan minyak mengalir untuk mendirikan bank-bank Islam dan program-program bantuan Arab yang lain.

3. Pengadopsian interpretasi trdisional riba oleh sejumlah negara Muslim.
Keputusan-keputusan politis yang terkait dengan promosi bank Islam mencuat pada tiga garda: (i) pelarangan bunga dalam bentuk undang-undang di beberapa negara Muslim; (ii) keputusan untuk mendirikan bank Islam internaional; (iii) partisipasi pemerintah-pemerintah Muslim dalam memunculkan gerakan perbankan Islam.

Sejak eksperimen perbankan Islam yang pertama dari Mit Ghamr pada tahun 1960-an, bank-bank Islam berkembangbiak, karena disatu pihak, permintaan pasar, dan dilain pihak, usaha-usaha keras negara Teluk kaya minyak pendukung utama perbankan Islam. Bank-bank Islam mulai bertambah jumlahnya dari hanya satu bank di dunia pada awal 1970-an, jumlahnya terus bertambah menjadi sembilan pada tahun 1980. Mereka adalah Nasser Social Bank (1971), Islamic Development Bank (1975), Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank Mesir (1977), Faisal Islamic Bank Sudan (1977), Kuwait Finance House (1977), Bahrain Islamic Bank (1979) dan International Islamic Bank for Invesment and Development (1980). Antara tahun 1981-1985, dua puluh empat bank dan lembaga keuangan Islam didirikan di Qatar, Sudan, Bahrain, Malaysia, Bangladesh, Senegal, Guinea, Denmark, Swiss, Turki, Inggris, Yordania, Tunisia dan Mauritania. Masih banyak lagi bank dan lembaga keuangan Islam yang sedang didirikan di hampir semua negara Muslim. Bahkan di negara-negara non-Muslim dimana minoritas Muslim signifikan berada, seperti di Amerika Serikat dan Australia, usaha-usaha sedang dilakukan untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan Islam. Disamping bank-bank pribadi, sistem perbankan Pakistan, Iran dan Sudan jelas berjalan berdasarkan beberapa asas Islam.

1. Rakyat Indonesia pada masa komunal primitif menuju perbudakan (1500 SM – 300 M)

Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia dapat pula diketahui bahwa terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu. Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang dimiliki ‘Mon Khmer’ maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang. Peristiwa ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia.

Cirinya ialah banyak terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja-2 mulai tumbuh.

2. Rakyat Indonesia pada masa setengah perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)

Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.

Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.

Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.

3. Rakyat Indonesia pada masa feodalisme dan kolonialisme (1602 M – 1830 M)

Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.

Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, salah satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van Bandanaira, meskipun bisa dihancurkan VOC selama 2 minggu.

VOC dengan dukungan penuh militer Republik Belanda Bersatu menguasai Banten kemudian memenangkan peperangan melawan Sultan Agung yang heroik pada tahun 1628-1629. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.

Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan dan menanggung banyak beban hutang. Besarnya biaya perang yang harus dikeluarkan dan korupsi yang merajalela di dalamnya telah mempercepat kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.

Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Raffles (1811-1816) dan Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen; demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, akan tetapi tetap menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, wedana dan asisten wedana, hingga demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah.

Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi yang lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal. Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di mana kerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung dari kerajaan Mataram. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis. Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.

Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.

4. Rakyat Indonesia di bawah penindasan Kolonial dan Setengah-Feodal (1830 -1949)

Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.

Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa. Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.

Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik. Demikian pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kapitalis dagang atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri imperialis mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.

Sistem Tanam Paksa dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan tanah feodal STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam).

Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Di Deli, pembangunan perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja untuk membuka hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau. Semula tenaga kerja didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka mulai mendatangkan tenaga kerja dari Jawa, karena tenaga yang tidak mencukupi dan mahal. Perkebunan mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak. Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Proletarisasi juga ada kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah maupun dalam tansaksi jual beli.

Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara Belanda. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda, menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya.

Di lain sisi, dalam negeri terjadi kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah dan harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, kerja wajib yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah diluar seperlima, beban kerja yang terus bertambah selain mengolah tanah ditambah juga dengan menjadi buruh angkut dan tidak dibayar, dan penyakit menular membuat banyak sekali petani yang meninggal dunia mencapai 7% dari buruh tani setiap tahunnya. Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaum herediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah.

Antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak. Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu.14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan. Dalam pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaum herendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah.

Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, kabupaten Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%.

Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.

Tidaklah benar tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial.

Artinya bahwa kaum liberal hanya memanfaatkan pemberontakan rakyat yang sedang massif dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan usaha di tanah jajahan kepada mereka. Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik “balas budi” pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.

Peralihan usaha-usaha dari STP ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM, harus diakui telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini terutama dengan masuknya investor-investor dari Eropa baik dari Belanda sendiri maupun dari Eropa lainnya, karena dukungan kebijakan dari pemerintahan kolonial. Dukungan yang paling nyata dan kongkrit adalah lahirnya Agrarische Wet pada tahun 1870. Agrarische wet adalah hukum kolonial yang memberikan kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas semakin banyak tanah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Itu berarti semakin banyak yang terpaksa menjadi buruh tani, buruh industri atau bekerja di perkebunan-perkebunan besar milik kaum kapitalis tersebut.

Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum imperialis di Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM dan Shell mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Blitung, yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC. Tentu saja hal ini menambah jumlah buruh modern atau proletariat modern di Indonesia, yang selama ini tidak ada.

Sistem Tanam Paksa dan berikutnya ekspansi besar-besaran investor Eropa paska tanam paksa, telah menyeret rakyat ke jurang penderitaan yang sukar diterima akal sehat. Mereka dipaksa secara sistemis menjadi buruh-buruh perkebunan-pabrik gula, menjadi buruh-buruh di pertambangan-pertambangan dengan upah rendah, demikian pula sebagai buruh kereta api, kurang lebih sama penderitaannya. Kaum tani kehilangan tanah karena tidak sanggup menanggung beban pajak dan semakin lama terjerumus dalam lingkaran hutang pada bangsa Tionghoa, keadaan ini tidak pernah berkurang bahkan bertambah parah pada krisis ekonomi karena persaingan harga gula internasional tahun 1888. Hal yang sama terulang kembali paska perang dunia pertama, penderitaan rakyat tiada habis-habisnya.

Situasi ini kembali dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialisme secara langsung akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.

5. Rakyat Indonesia di bawah Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949– sekarang)

Revolusi Burjuis Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri. Hal ini ditandai dengan disepakatinya hasil KMB 1949 oleh Hatta-Syahrir.

Demikian pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme yang senantiasa bersekutu dengan kaum imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya. Akibat dari semua kegagalan ini adalah, tidak adanya perombakan hubungan produksi dan perkembangan tenaga produktif baru yang memajukan kesejahteraan hidup rakyat, terutama kaum buruh dan kaum tani.

Hal di atas disebabkan konsentrasi kepemilikan tanah hanya beralih dari pemerintah jajahan kepada pemerintah burjuasi komprador, yang pada hakekatnya juga untuk sepenuhnya melayani kepentingan modal kaum imperialis. Demikian pula penguasaan perkebunan dan pabrik-pabrik serta pertambangan justru dijamin kepemilikannya oleh pemerintah burjuasi agar tidak dilikuidasi oleh kaum buruh, buruh tani dan rakyat pada umumnya. Sehingga tidak terjadi perombakan dalam struktur kepemilikan dalam perusahaan tersebut.

Ekspresi Kobe

Ekspresi Kobe
Ahmad Khobidu

Kamus

Jam Digital

Kalender

Kotak Chatting


ShoutMix chat widget