Usaha mendorong korporasi agar tidak hanya mempertimbangkan keuntungan bisnis dan kepentingan pemilik saham (shareholder), namun juga memperhatikan kepentingan masyarakat lebih luas (stakeholder), telah memiliki sejarah panjang. Kritik kelompok masarakat sipil tampak mulai menguat pada skala internasional ketika dilangsungkan pertemuan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1999 di Seattle, Amerika Serikat. Kecaman tersebut didorong oleh situasi buruknya kondisi kerja, upah yang tidak layak, praktek pengrusakan hutan serta degradasi lingkungan. Atau secara umum, berbagai eksternalitas yang berkaitan dengan globalisasi ekonomi.
Dampak negatif paling tragis dialami penduduk negara-negara berkembang, khususnya buruh dan masyarakat di sekitar lokasi operasi korporasi-korporasi transnasional. Para buruh bekerja dengan upah yang rendah, sementara masyarakat sekitar menderita ekses-ekses kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan. Sementara itu, konsumen dan pemegang saham korporasi-korporasi tersebut, yang berada di negeri maju yang nun jauh, mendapatkan keuntungan dan kemajuan.
Sebuah solusi ditawarkan oleh organisasi bisnis untuk mengatasi berbagai eksternalitas diatas, yaitu pengaturan diri sendiri korporasi yang lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), atau Tanggungjawab Sosial Korporasi. CSR dimaksudkan sebagai sebuah jalan untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis, masyarakat luas serta lingkungan tanpa memprluas campurtangan pemerintah terhadap pasar global.
Beberapa kelompok masyarakat sipil memilih untuk menerima konsep tersebut secara kritis, dengan menekankan implementasinya. Hal tersebut tampak dalam pernyataan organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/Non Goverment Organization) yang turut dilibatkan dalam proses penyusunan kembali OECD Multinational Enterprise Guidelines pada tahun 2000 (salah satu konsep CSR). NGO-NGO tersebut menyimpulkan jika implementasi tidak dilakukan dengan jujur, maka CSR hanya akan menjadi alat legitimasi praktek perusahaan multinasional yang dapat merusak keberlanjutan alam dan lingkungan sosial.
Sementara di dunia internasional kelompok NGO terpaksa menerima kompromi dengan karakter CSR yang tidak mengikat (artinya, tidak diatur oleh regulasi negara) di Indonesia, pemerintah mengaturnya secara mengikat dengan mengeluarkan UU No.40 Th.2007 tentang perseroan terbatas (PT). Pada bab V tentang tanggungjawab Sosial dan Lingkungan, khususnya pasal 74 dari UU tersebut menyebutkan bahwa perseroan yang menjalankan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Hal itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pencantuman CSR dalam klausul perundang-undangan mengubah posisi CSR dari kedermawanan menjadi mandatory (wajib). Pemberian sanksi sebagai konsekuensi menjadi wajibnya CSR bagi perusahaan, memberikan sinyalemen, bahwa sesungguhnya di Indonesia CSR bukanlah bagian integral dari pembiayaan investasi perusahaan. Akibatnya kuat dugaan bahwa praktek CSR baru terjadi setelah perusahaan menghadapi masalah sosial dan lingkungan. Apalagi pengembangan CSR di Indonesia dimulai dengan proses-proses pelunakan resistensi masyarakat, dan digagas oleh pihak eksternal perusahaan, salah satunya adalah IBL (Indonesia Business Links) yang dengan gencarnya mempromosikan CSR dengan pendekatan kajian untung rugi bagi perusahaan.
Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan CSR sebagian besar berasal dari sikap perusahaan itu sendiri. Yaitu menempatkan CSR sebagai sebuah beban baru, sehingga perusahaan menggunakan instrumen CSR untuk menarik keuntungan baik langsung atau tidak langsung. Seperti dinyatakan oleh Taman Achda dibawah ini:
“CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum, karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan kedalam program-program konkrit. Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD). Program-program CD dapat dilakukan perusahaan-perusahaan atas dasar sikap dan pandangan yang umumnya telah ada (inheren) dalam dirinya, yaitu sikap dan pandangan filantropis (kedermaan). Perusahaan umumnya memilii sikap tersebut yang didasarkan atas dua motif sekaligus, yakni altruisme dan self interest. Sayangnya pendekatan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) belum menjadi mainstream oleh sebagian besar perusahaan. Sebagian besar pengambil keputusan perusahaan memandang filantropi perusahaan sebagai pencerahan atas kepentingan pribadi (self interest). Self interest merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam praktek kedermawanan sosial perusahaan. Motif perusahaan dalam menyumbang sringkali tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan tanggungjawab moral, melainkan dalam bentuk pemberian dengan motif charity (amal atau derma), image building (promosi), tax facility (fasilitas pajak), security prosperity (keamanan dan peningkatan kesejahteraan), atau bahkan maaf-money laundering.”
Karena itulah ditengah penolakan dunia usaha terhadap kewajiban CSR tersebut, tentu implementasi CSR akan mendapat batu sandungan yang besar. Selain itu, terdapat tantangan klasik di Indonesia, yakni lemahnya penegakan hukum manakala berhadapan dengan korporasi.
Dampak negatif paling tragis dialami penduduk negara-negara berkembang, khususnya buruh dan masyarakat di sekitar lokasi operasi korporasi-korporasi transnasional. Para buruh bekerja dengan upah yang rendah, sementara masyarakat sekitar menderita ekses-ekses kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan. Sementara itu, konsumen dan pemegang saham korporasi-korporasi tersebut, yang berada di negeri maju yang nun jauh, mendapatkan keuntungan dan kemajuan.
Sebuah solusi ditawarkan oleh organisasi bisnis untuk mengatasi berbagai eksternalitas diatas, yaitu pengaturan diri sendiri korporasi yang lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), atau Tanggungjawab Sosial Korporasi. CSR dimaksudkan sebagai sebuah jalan untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis, masyarakat luas serta lingkungan tanpa memprluas campurtangan pemerintah terhadap pasar global.
Beberapa kelompok masyarakat sipil memilih untuk menerima konsep tersebut secara kritis, dengan menekankan implementasinya. Hal tersebut tampak dalam pernyataan organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/Non Goverment Organization) yang turut dilibatkan dalam proses penyusunan kembali OECD Multinational Enterprise Guidelines pada tahun 2000 (salah satu konsep CSR). NGO-NGO tersebut menyimpulkan jika implementasi tidak dilakukan dengan jujur, maka CSR hanya akan menjadi alat legitimasi praktek perusahaan multinasional yang dapat merusak keberlanjutan alam dan lingkungan sosial.
Sementara di dunia internasional kelompok NGO terpaksa menerima kompromi dengan karakter CSR yang tidak mengikat (artinya, tidak diatur oleh regulasi negara) di Indonesia, pemerintah mengaturnya secara mengikat dengan mengeluarkan UU No.40 Th.2007 tentang perseroan terbatas (PT). Pada bab V tentang tanggungjawab Sosial dan Lingkungan, khususnya pasal 74 dari UU tersebut menyebutkan bahwa perseroan yang menjalankan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Hal itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pencantuman CSR dalam klausul perundang-undangan mengubah posisi CSR dari kedermawanan menjadi mandatory (wajib). Pemberian sanksi sebagai konsekuensi menjadi wajibnya CSR bagi perusahaan, memberikan sinyalemen, bahwa sesungguhnya di Indonesia CSR bukanlah bagian integral dari pembiayaan investasi perusahaan. Akibatnya kuat dugaan bahwa praktek CSR baru terjadi setelah perusahaan menghadapi masalah sosial dan lingkungan. Apalagi pengembangan CSR di Indonesia dimulai dengan proses-proses pelunakan resistensi masyarakat, dan digagas oleh pihak eksternal perusahaan, salah satunya adalah IBL (Indonesia Business Links) yang dengan gencarnya mempromosikan CSR dengan pendekatan kajian untung rugi bagi perusahaan.
Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan CSR sebagian besar berasal dari sikap perusahaan itu sendiri. Yaitu menempatkan CSR sebagai sebuah beban baru, sehingga perusahaan menggunakan instrumen CSR untuk menarik keuntungan baik langsung atau tidak langsung. Seperti dinyatakan oleh Taman Achda dibawah ini:
“CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum, karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan kedalam program-program konkrit. Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD). Program-program CD dapat dilakukan perusahaan-perusahaan atas dasar sikap dan pandangan yang umumnya telah ada (inheren) dalam dirinya, yaitu sikap dan pandangan filantropis (kedermaan). Perusahaan umumnya memilii sikap tersebut yang didasarkan atas dua motif sekaligus, yakni altruisme dan self interest. Sayangnya pendekatan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) belum menjadi mainstream oleh sebagian besar perusahaan. Sebagian besar pengambil keputusan perusahaan memandang filantropi perusahaan sebagai pencerahan atas kepentingan pribadi (self interest). Self interest merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam praktek kedermawanan sosial perusahaan. Motif perusahaan dalam menyumbang sringkali tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan tanggungjawab moral, melainkan dalam bentuk pemberian dengan motif charity (amal atau derma), image building (promosi), tax facility (fasilitas pajak), security prosperity (keamanan dan peningkatan kesejahteraan), atau bahkan maaf-money laundering.”
Karena itulah ditengah penolakan dunia usaha terhadap kewajiban CSR tersebut, tentu implementasi CSR akan mendapat batu sandungan yang besar. Selain itu, terdapat tantangan klasik di Indonesia, yakni lemahnya penegakan hukum manakala berhadapan dengan korporasi.
0 comments:
Posting Komentar