Coretan Ahmad Khobidu

Mendengarkan dengan baik dan mencoba untuk memahami

NeoEarth

Kampus yang dicap sebagai ajang untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan hal yang baru lagi. Pada tahun ajaran baru ini 2009/2010, Perguruan Tinggi baik yang negeri maupun swasta kembali diramaikan oleh para pelajar-pelajar yang baru atau transisi dari siswa menjadi mahasiswa.

Mahasiswa yang bisa berkuliah rata-rata berasal dari keluarga yang cukup mampu. Yang dimaksud dengan keluarga cukup mampu ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai borjuasi kecil hingga borjuasi besar di perkotaan. Ataupun dari keluarga tuan tanah, tani kaya dan tani sedang atas di pedesaan. Rata-rata keluarga yang mampu menguliahkan anaknya adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan sebuah perusahaan, pemilik toko-toko kecil hingga anak-anak pejabat dan pengusaha besar. Sangat minim keluarga dari buruh pabrik, buruh tani dan tani miskin yang mampu menguliahkan anaknya.

Rata-rata mahasiswa di Indonesia menempuh massa kuliah 4-5 tahun untuk jenjang pendidikan strata 1 (S1) atau sarjana. Jenjang pendidikan S1 dibekali dengan pendidikan teoritis dan praktis. Ada juga mahasiswa yang menempuh massa kuliah 1-3 tahun untuk jenjang pendidikan D1, D2, D3 dan Politeknik. Jenjang pendidikan ini lebih menekankan pada pembekalan ketrampilan atau praktis. Ada juga jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) yang menempuh waktu rata-rata 2-3 tahun. Jenjang pendidikan ini banyak diisi oleh mahasiswa dari kalangan borjuasi besar, anak tuan tanah atau tani kaya. Karena biaya kuliah untuk jenjang ini terbilang sangat mahal. Dan orientasinya lebih ditujukan untuk memenuhi prestise (gengsi sosial) agar memudahkan dalam menapaki karier baik dalam menjadi karyawan sebuah perusahan, birokrat pemerintahan, intelektual borjuis dan politisi borjuis.

Untuk itu pula, mahasiswa secara kedudukan klas disebut “borjuasi kecil”. Maksudnya, mahasiswa tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi ekonomi layaknya klas buruh dan kaum tani, tetapi memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan sebagai alat produksi yang akan digunakan untuk keberlangsungan hidupnya, terutama untuk memenuhi tuntutan hidup pasca kuliah. Kedudukan sebagai borjuasi kecil juga terlihat dari watak individualis mahasiswa dan cita-cita yang rata-rata ingin jadi “orang besar” baik sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan, birokrat pemerintahan, intelektual hingga politisi. Karena borjuasi kecil memang selau berkeinginan untuk menjadi borjuasi besar. Hingga kemudian pragmatisme begitu mengental di mahasiswa. Mahasiswa akan lebih memikirkan dirinya sendiri seperti mengejar nilai kuliah setinggi-tingginya dibandingkan memperjuangkan kesejahteraannya baik di kampus ataupun yang berkenaan dengan kebijakan pemerintah, walaupun dirinya menyadari bahwa ada persoalan mengenai hal tersebut.

Namun mahasiswa juga memiliki tingkat kekritisan terhadap persoalan-persoalan di sekelilingnya. Mahasiswa juga memiliki semangat kaum muda yang selalu mendambakan terjadinya perubahan atas kondisi sosial yang ada. Seringkali pemikiran kritis mahasiswa atau keluhan-keluhan mahasiswa hanya disikapi secara individu, dipendam sendiri, menjadi obrolan-obrolan singkat dalam tongkrongan atau hanya dianggap angin lalu saja. Karena mahasiswa sering berpikir hal itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja atau bukan masalah karena nantipun ketika dia lulus akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik dengan modal sarjananya. Apalagi bagi mahasiswa yang berlatar belakang dari keluarga borjuasi besar dan tuan tanah. Akan tetapi peluang untuk menyadarkan, membangkitkan, menggerakkan dan mengorganisasikan mahasiswa juga sangat terbuka karena mahasiswa juga mengalami ketertindasan dan keterhisapan dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Sejarah juga telah mencatat bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam perubahan politik dan sosial baik di dunia dan di Indonesia.

Mahasiswa juga mengalami keterasingan dari realita sosial yang ada. Hal ini tidak terlepas dari kurikulum pendidikan yang diterimanya di bangku perkuliahan yang memang memisahkan dirinya dari realitas sosial. Dunia kampus telah didesain oleh negara menjadi “menara gading” yang hanya membuat mahasiswa memandang sesuatu dari permukaan semata. Di bangku kuliah, mahasiswa dijejali dengan serangkaian mata kuliah yang tidak ilmiah. Maksudnya, pelajaran-pelajaran yang didapatkan oleh mahasiswa di bangku kuliah tidak membuat dirinya mampu memahami arti sesungguhnya dari fungsi dan kegunaan itu sendiri.

Sistem pendidikan sebagai sarana meningkatkan pola fikir dan kebudayaan anak bangsa di negeri ini, harus dapat membawa para sarjana yang ahli (expert) di bidangnya, sekaligus siap. Ahli disini tidak berarti hanya menjadi buruh – buruh yang siap dipakai dalam pasar tenaga kerja, tetapi juga dapat sekaligus menciptakan kemandirian dalam menciptakan lapangan kerja dengan mendirikan industri–industri nasional yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia untuk terlepas dari ketergantungan (penjajahan) modal dan industri asing dengan memiliki industri nasional yang tangguh dan mandiri, dimana produksinya dapat secara merata dinikmati oleh rakyat. Karena industri nasional ditopang oleh adanya ketersediaan para sarjana yang ahli dan mandiri, maka disinilah tugas utama lembaga pendidikan yang akan menghasilkan para sarjana yang menguasai bidang studinya dan mengabdi pada rakyat (serve the people).

Pendidikan adalah sebuah proses dialektika manusia untuk mengembangkan kemampuan akal dan pikirannya, menerapkan ilmu pengetahuan untuk menjawab problem – problem sosial, serta mencari hipotesa – hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Pendidikan merupakan sebuah media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, sekaligus sebagai suatu instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga (intelektual dan praktisi) yang akan menjadi penopang bagi perkembangan hidup massa rakyat. Pendidikan harus menjadi faktor pendorong bagi kemajuan peradaban menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis. Namun kenyataannya, pendidikan di Indonesia tidaklah berujung sesuai pandangan di atas. Historis pendidikan di negeri ini masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan pada setiap masa, hanya dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa. Di era kolonial, pendidikan ditujukan untuk menyediakan infrastruktur bagi kepentingan industri perkebunan dan birokrasi Belanda serta bersifat diskriminatif bagi rakyat. Namun bekal ilmu pengetahun modern yang dipelajari di bangku sekolah, tidak kemudian menutup mata sebagian kaum pribumi. Generasi muda dari zaman ini, muncul kemudian sebagai pejuang-pejuang, yang kita kenal kemudian dengan istilah Kebangkitan Nasional dan Pergerakan Nasional di awal abad 20.

0 comments:

Posting Komentar

Ekspresi Kobe

Ekspresi Kobe
Ahmad Khobidu

Kamus

Jam Digital

Kalender

Kotak Chatting


ShoutMix chat widget